Wilayatul Faqih, Agenda Politik Kaum Syiah
ROMADHON.ID, TANJUNG ENIM - Pembahasan tentang Syiah tidak bisa dipisahkan dengan pembahasan politik yang menjadi agenda besar mereka. Jika dibandingkan dengan Sunni, bisa jadi Syiah lebih politis. Syiah sendiri lahir dari latar belakang politik, yaitu sengketa tentang siapa yang lebih berhak menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sepeninggalnya. Masalah politik dan kekuasaan inilah yang menjadi sumber penyimpangan Syiah dari Sunni.
Secara ideologi, Syiah menganut sistem pemerintahan imamah, yaitu doktrin politik yang menyebutkan bahwa pemerintahan Islam sepeninggal Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah hak mutlak Ahlul Bait, yakni Ali bin Abi Thalib dan sebelas keturunannya. Ini adalah hak mutlak, tidak seorang pun berhak mendapatkan atau merampas hak kepemimpinan ini. Namun sepeninggal dua belas imam, mereka mengalami kebuntuan karena kekosongan kepemimpinan yang menjadi rujukan mereka dalam berbagai persoalan hidup. Maka, lahirlah ijtihad Wilayatul Faqih yang penerapannya dimulai masa kepemimpinan Khomeini pasca Revolusi Iran.
Apa itu Wilayatul Faqih?
Menurut ulama Syiah, Wilayatul Faqih adalah kedudukan seorang Fakih yang memiliki kapasitas menyeluruh karena memiliki syarat-syarat dalam memberikan fatwa dan hukum, kedudukannya setara dengan hakim syar’i, pemimpin tertinggi dan al-Imam al-Muntadzar (Imam kedua belas yang ditunggu kedatangannya) di zaman gaibnya. Tugasnya berupa: memberikan kebijakan politik, mengatur segala urusan, menyiapkan berbagai bekal untuk jihad ofensif, yaitu penaklukan negeri-negeri kafir dengan pedang serta wilayah yang berada di luar kekuasaannya. (Ahmad Fathullah, Mu’jam al-Alfadz al-Fiqh al-Ja’fari, hlm. 453)
Maka diketahui di sini bahwa seorang fakih adalah perwakilan dari Imam al-Muntadzar atau Imam Mahdi versi Syiah dalam berbagai urusan, seperti hukum, penarikan khumus yaitu lima persen dari pendapatan, Amar ma’ruf, nahi munkar dan jihad. Padahal syiah dan ulamanya telah berlalu bertahun-tahun hingga masa sebelum Khomeini tidak berpandangan demikian.
Dalam perjalanan pemikirannya, Khomeini tidak serta merta berijtihad sendiri dalam melahirkan konsep Wilayatul Faqih. Gagasan Wilayatul Faqih ini dimulai oleh seorang pemikir Syiah yang dijuluki al-Muhaqqiq ats-Tsani, yaitu Ali bin al-Husain al-Karki. Al-Karki menyebutkan dalam bukunya Jami’ul Maqashid 1/33bahwa siapa yang menyelisihi hukum seorang mujtahid maka hukumnya sama dengan syirik, terlaknat dan murtad. Dari sini, al-Karki membangun pondasi gagasan Wilayatul Fakih dengan mencampurkan wilayah ulama ke dalam pemerintahan dan politik.
Setelah itu, datang lah Ahmad an-Niraqi yang mengembangkan pemikiran tersebut. Melalui bukunya ‘Awa’idul Ayyam halaman 536, ia menyebutkan bahwa tugas Fakih sebagaimana tugas para Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para Imam setelahnya, maka semua perkara manusia, baik urusan dunia dan akhirat, dikembalikan kepada seorang Fakih. Dari sini, an-Niraqi memberikan legalitas bagi seorang Fakih untuk memegang kendali pemerintahan sekaligus sebagai ganti para imam.
Kemudian, datang lah al-Khomeini yang mengumpulkan gagasannya tentang Wilayatul Faqih dalam sebuah buku khusus. Buku yang diberi judul Wilayatul Faqih itu berisi pandangannya tentang Wilayatul Fakih, urgensinya di masa sekarang hingga dalil-dalil yang dipaksakannya. Sehingga gagasan ini benar-benar dilaksanakan dalam sebuah sistem Negara pasca revolusi Iran yang ia pimpin.
Wilayatul Faqih, Konsep yang Berbahaya
Khomeini menarasikan konsep ini dan mengajak para pengikutnya untuk meyakini pentingnya mendirikan Negara yang dipimpin oleh wakil dari Imam Ghaib. Khomeini mengatakan:
واليوم – في عهد الغيبة – لا يوجد نص على شخص معين يدير شؤون الدولة، فما هو الرأي؟ هل تترك أحكام الإسلام معطلة؟ أم نرغب بأنفسنا عن الإسلام؟ أم نقول إن الإسلام جاء لحكم الناس قرنين من الزمان فحسب ليهملهم بعد ذلك؟ أو نقول: إن الإسلام قد أهمل أمور تنظيم الدولة؟ ونحن نعلم أن عدم وجود الحكومة يعني ضياع ثغور الإسلام وانتهاكها، ويعني تخاذلنا عن أرضنا، هل يسمح بذلك في ديننا؟ أليست الحكومة تعني ضرورة من ضرورات الحياة؟
“Hari ini -di masa persembunyian imam- tidak ada satu orang yang ditunjuk untuk menjalankan pemerintahan negara. Lalu apa pendapat kalian? Apakah hukum Islam harus dibiarkan tidak diterapkan? Atau kita sudah benci kepada Islam? Atau kita mengatakan bahwa Islam hanya turun untuk mengatur kehidupan manusia selama dua abad saja, lalu membiarkan manusia sesudahnya? Atau kita ingin mengatakan: bahwa Islam telah mengabaikan urusan pemerintahan negara? Dan kita semua tahu bahwa tidak adanya pemerintahan mengakibatkan wilayah kekuasaan Islam akan diserang musuh, dan artinya kita akan diam ketika musuh masuk ke wilayah kita. Apakah agama kita membolehkan hal itu terjadi? Bukankah adanya sebuah pemerintahan merupakan hal yang amat penting dalam kehidupan?” (al-Hukumah al-Islamiyyah, hlm. 74)
Lalu, siapakah yang dimaksud Khomeini layak menggantikan Imam yang dalam persembunyian menjalankan roda pemerintahan? Tidak lain adalah ulama Syiah. Khomeini mengatakan:
إن معظم فقهائنا في هذا العصر تتوفر فيهم الخصائص التي تؤهلهم للنيابة عن الإمام المعصوم
“Mayoritas ulama kita di zaman ini memiliki sifat-sifat yang membuat mereka layak mewakili imam yang maksum.” (al-Hukumah al-Islamiyyah, hlm. 113)
Konsekuensi dari mewakili jabatan dan kewenangan imam Maksum adalah perintah para ulama syiah sama dengan perintah Rasul. Maka, seluruh kaum Syiah yang ada di dunia pun harus tunduk di bawah pemerintahan sang wakil Imam. Lebih dari itu, Fakih juga menggantikan Imam dalam melaksanakan tugasnya. Di antara tugas Imam yang disebutkan dalam referensi mereka adalah pembantaian kaum selain Syiah.
وأن القائم إذا خرج قتل ذراري قتلة الحسين بفعال آبائهم
“Kelak Imam Mahdi (yang disebut dengan Al Qa’im, artinya adalah yang bangkit) muncul, maka dia akan membantai anak keturunan para pembunuh Husein, karena dosa yang dilakukan oleh kakek mereka.” (Biharul Anwar, 52/313)
وإنه يقتل المولي، ويجهز على الجريح
“Imam Mahdi akan membantai para budak, dan membunuh musuh yang terluka.” (Biharul Anwar, 52/353)
Menyebarkan Konsep Wilayatul Faqih ke Seluruh Dunia
Khomeini tidak hanya ingin menyebarkan revolusinya secara damai, tetapi ingin memaksakan mazhabnya kepada kaum muslimin dengan kekuatan senjata. Dia telah mengisyaratkan hal itu sebelum berdirinya Iran. Khomeini memutuskan bahwa jalan untuk menyebarkan ajaran syiah ke seluruh dunia adalah dengan mendirikan negara Syiah yang akan melaksanakan tugas ini. Khomeini berkata :
ونحن لا نملك الوسيلة إلى توحيد الأمة الإسلامية، وتحرير أراضيها من يد المستعمرين وإسقاط الحكومات العميلة لهم، إلا أن نسعى إلى إقامة حكومتنا الإسلامية، وهذه بدورها سوف تكلل أعمالها بالنجاح يوم تتمكن من تحطيم رؤوس الخيانة وتدمر الأوثان والأصنام البشرية التي تنشر الظلم والفساد في الأرض
“Kita tidak memiliki jalan untuk mempersatukan umat Islam (di atas mazhab Rafidhah) dan membebaskan negeri Islam dari para penjajah, dan menjatuhkan pemerintahan boneka penjajah, kecuali dengan mendirikan pemerintahan Islam, dan negara ini akan mensukseskan programnya, pada saat mampu meremukkan kepala para pengkhianat, dan menghancurkan berhala berwujud manusia yang meneybarkan kezhaliman dan kerusakan di muka bumi.” (al-Hukumah al-Islamiyyah, hlm. 35)
Syiah akan terus berusaha meluaskan kekuasaannya ke seluruh dunia Islam dengan segala cara. Pemikiran mereka telah dituangkan dalam literatur-literatur yang diajarkan di setiap generasi dan kaderisasi. Didukung dengan kekuatan Negara Iran, mereka akan terus bergerak menyongsong datangnya sang Imam.
Dengan demikian, keberadaan Syiah di manapun akan menjadi bahaya bagi masyarakat dan Negara. Selain menyebarkan ideologinya yang sesat, mereka juga berhasrat untuk merebut kekuasaan politik Negara tersebut. Dan mereka tidak akan pernah puas selain terbalasnya dendam mereka atas pembunuhan imam Husain kepada kaum Sunni. Wallahu a’lam bish showab.
Secara ideologi, Syiah menganut sistem pemerintahan imamah, yaitu doktrin politik yang menyebutkan bahwa pemerintahan Islam sepeninggal Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah hak mutlak Ahlul Bait, yakni Ali bin Abi Thalib dan sebelas keturunannya. Ini adalah hak mutlak, tidak seorang pun berhak mendapatkan atau merampas hak kepemimpinan ini. Namun sepeninggal dua belas imam, mereka mengalami kebuntuan karena kekosongan kepemimpinan yang menjadi rujukan mereka dalam berbagai persoalan hidup. Maka, lahirlah ijtihad Wilayatul Faqih yang penerapannya dimulai masa kepemimpinan Khomeini pasca Revolusi Iran.
Apa itu Wilayatul Faqih?
Menurut ulama Syiah, Wilayatul Faqih adalah kedudukan seorang Fakih yang memiliki kapasitas menyeluruh karena memiliki syarat-syarat dalam memberikan fatwa dan hukum, kedudukannya setara dengan hakim syar’i, pemimpin tertinggi dan al-Imam al-Muntadzar (Imam kedua belas yang ditunggu kedatangannya) di zaman gaibnya. Tugasnya berupa: memberikan kebijakan politik, mengatur segala urusan, menyiapkan berbagai bekal untuk jihad ofensif, yaitu penaklukan negeri-negeri kafir dengan pedang serta wilayah yang berada di luar kekuasaannya. (Ahmad Fathullah, Mu’jam al-Alfadz al-Fiqh al-Ja’fari, hlm. 453)
Maka diketahui di sini bahwa seorang fakih adalah perwakilan dari Imam al-Muntadzar atau Imam Mahdi versi Syiah dalam berbagai urusan, seperti hukum, penarikan khumus yaitu lima persen dari pendapatan, Amar ma’ruf, nahi munkar dan jihad. Padahal syiah dan ulamanya telah berlalu bertahun-tahun hingga masa sebelum Khomeini tidak berpandangan demikian.
Dalam perjalanan pemikirannya, Khomeini tidak serta merta berijtihad sendiri dalam melahirkan konsep Wilayatul Faqih. Gagasan Wilayatul Faqih ini dimulai oleh seorang pemikir Syiah yang dijuluki al-Muhaqqiq ats-Tsani, yaitu Ali bin al-Husain al-Karki. Al-Karki menyebutkan dalam bukunya Jami’ul Maqashid 1/33bahwa siapa yang menyelisihi hukum seorang mujtahid maka hukumnya sama dengan syirik, terlaknat dan murtad. Dari sini, al-Karki membangun pondasi gagasan Wilayatul Fakih dengan mencampurkan wilayah ulama ke dalam pemerintahan dan politik.
Setelah itu, datang lah Ahmad an-Niraqi yang mengembangkan pemikiran tersebut. Melalui bukunya ‘Awa’idul Ayyam halaman 536, ia menyebutkan bahwa tugas Fakih sebagaimana tugas para Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para Imam setelahnya, maka semua perkara manusia, baik urusan dunia dan akhirat, dikembalikan kepada seorang Fakih. Dari sini, an-Niraqi memberikan legalitas bagi seorang Fakih untuk memegang kendali pemerintahan sekaligus sebagai ganti para imam.
Kemudian, datang lah al-Khomeini yang mengumpulkan gagasannya tentang Wilayatul Faqih dalam sebuah buku khusus. Buku yang diberi judul Wilayatul Faqih itu berisi pandangannya tentang Wilayatul Fakih, urgensinya di masa sekarang hingga dalil-dalil yang dipaksakannya. Sehingga gagasan ini benar-benar dilaksanakan dalam sebuah sistem Negara pasca revolusi Iran yang ia pimpin.
Wilayatul Faqih, Konsep yang Berbahaya
Khomeini menarasikan konsep ini dan mengajak para pengikutnya untuk meyakini pentingnya mendirikan Negara yang dipimpin oleh wakil dari Imam Ghaib. Khomeini mengatakan:
واليوم – في عهد الغيبة – لا يوجد نص على شخص معين يدير شؤون الدولة، فما هو الرأي؟ هل تترك أحكام الإسلام معطلة؟ أم نرغب بأنفسنا عن الإسلام؟ أم نقول إن الإسلام جاء لحكم الناس قرنين من الزمان فحسب ليهملهم بعد ذلك؟ أو نقول: إن الإسلام قد أهمل أمور تنظيم الدولة؟ ونحن نعلم أن عدم وجود الحكومة يعني ضياع ثغور الإسلام وانتهاكها، ويعني تخاذلنا عن أرضنا، هل يسمح بذلك في ديننا؟ أليست الحكومة تعني ضرورة من ضرورات الحياة؟
“Hari ini -di masa persembunyian imam- tidak ada satu orang yang ditunjuk untuk menjalankan pemerintahan negara. Lalu apa pendapat kalian? Apakah hukum Islam harus dibiarkan tidak diterapkan? Atau kita sudah benci kepada Islam? Atau kita mengatakan bahwa Islam hanya turun untuk mengatur kehidupan manusia selama dua abad saja, lalu membiarkan manusia sesudahnya? Atau kita ingin mengatakan: bahwa Islam telah mengabaikan urusan pemerintahan negara? Dan kita semua tahu bahwa tidak adanya pemerintahan mengakibatkan wilayah kekuasaan Islam akan diserang musuh, dan artinya kita akan diam ketika musuh masuk ke wilayah kita. Apakah agama kita membolehkan hal itu terjadi? Bukankah adanya sebuah pemerintahan merupakan hal yang amat penting dalam kehidupan?” (al-Hukumah al-Islamiyyah, hlm. 74)
Lalu, siapakah yang dimaksud Khomeini layak menggantikan Imam yang dalam persembunyian menjalankan roda pemerintahan? Tidak lain adalah ulama Syiah. Khomeini mengatakan:
إن معظم فقهائنا في هذا العصر تتوفر فيهم الخصائص التي تؤهلهم للنيابة عن الإمام المعصوم
“Mayoritas ulama kita di zaman ini memiliki sifat-sifat yang membuat mereka layak mewakili imam yang maksum.” (al-Hukumah al-Islamiyyah, hlm. 113)
Konsekuensi dari mewakili jabatan dan kewenangan imam Maksum adalah perintah para ulama syiah sama dengan perintah Rasul. Maka, seluruh kaum Syiah yang ada di dunia pun harus tunduk di bawah pemerintahan sang wakil Imam. Lebih dari itu, Fakih juga menggantikan Imam dalam melaksanakan tugasnya. Di antara tugas Imam yang disebutkan dalam referensi mereka adalah pembantaian kaum selain Syiah.
وأن القائم إذا خرج قتل ذراري قتلة الحسين بفعال آبائهم
“Kelak Imam Mahdi (yang disebut dengan Al Qa’im, artinya adalah yang bangkit) muncul, maka dia akan membantai anak keturunan para pembunuh Husein, karena dosa yang dilakukan oleh kakek mereka.” (Biharul Anwar, 52/313)
وإنه يقتل المولي، ويجهز على الجريح
“Imam Mahdi akan membantai para budak, dan membunuh musuh yang terluka.” (Biharul Anwar, 52/353)
Menyebarkan Konsep Wilayatul Faqih ke Seluruh Dunia
Khomeini tidak hanya ingin menyebarkan revolusinya secara damai, tetapi ingin memaksakan mazhabnya kepada kaum muslimin dengan kekuatan senjata. Dia telah mengisyaratkan hal itu sebelum berdirinya Iran. Khomeini memutuskan bahwa jalan untuk menyebarkan ajaran syiah ke seluruh dunia adalah dengan mendirikan negara Syiah yang akan melaksanakan tugas ini. Khomeini berkata :
ونحن لا نملك الوسيلة إلى توحيد الأمة الإسلامية، وتحرير أراضيها من يد المستعمرين وإسقاط الحكومات العميلة لهم، إلا أن نسعى إلى إقامة حكومتنا الإسلامية، وهذه بدورها سوف تكلل أعمالها بالنجاح يوم تتمكن من تحطيم رؤوس الخيانة وتدمر الأوثان والأصنام البشرية التي تنشر الظلم والفساد في الأرض
“Kita tidak memiliki jalan untuk mempersatukan umat Islam (di atas mazhab Rafidhah) dan membebaskan negeri Islam dari para penjajah, dan menjatuhkan pemerintahan boneka penjajah, kecuali dengan mendirikan pemerintahan Islam, dan negara ini akan mensukseskan programnya, pada saat mampu meremukkan kepala para pengkhianat, dan menghancurkan berhala berwujud manusia yang meneybarkan kezhaliman dan kerusakan di muka bumi.” (al-Hukumah al-Islamiyyah, hlm. 35)
Syiah akan terus berusaha meluaskan kekuasaannya ke seluruh dunia Islam dengan segala cara. Pemikiran mereka telah dituangkan dalam literatur-literatur yang diajarkan di setiap generasi dan kaderisasi. Didukung dengan kekuatan Negara Iran, mereka akan terus bergerak menyongsong datangnya sang Imam.
Dengan demikian, keberadaan Syiah di manapun akan menjadi bahaya bagi masyarakat dan Negara. Selain menyebarkan ideologinya yang sesat, mereka juga berhasrat untuk merebut kekuasaan politik Negara tersebut. Dan mereka tidak akan pernah puas selain terbalasnya dendam mereka atas pembunuhan imam Husain kepada kaum Sunni. Wallahu a’lam bish showab.
0 Response to "Wilayatul Faqih, Agenda Politik Kaum Syiah"
Post a Comment